KehendakMu
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
All Right Reserved
Penulis : Tutty Mardini
QRCBN : 62-839-1541-481
Penyunting : Kokom Komara
Lay out : Tim CMJ
Desain Sampul: Hapiah Wardah
Cetakan Pertama, Mei 2024
Jumlah halaman vi+97
Aku tidak membicarakannya dengan anak-anakku, karena aku takut menjadi beban pikiran mereka. Aku tahan sendiri. Aku hanya mencurahkan keluhanku kepada ibuku yang sudah tua. Tadinya aku tidak tega ketika aku menceritakan persoalan ini kepda ibuku. Tapi ketika aku pendam sendiri, aku semakin merasa sakit hati, setiap hari aku merasa salah tingkah. Tapi aku harus tetap bekerja secara profesional, maka aku tahan sedemikian rupa. Akhirnya aku jadi gampang sakit, tapi aku tidak mau terlihat sakit oleh siapapun. Aku kuat-kuatkan dan aku tidak menampakkan wajahku yang kuyu, badanku semakin lama semakin mengurus.
“Ma, ke dokter, yuk…!” Ajak Kang Burhan ketika aku mulai mengaduh lagi. Entah apa yang aku rasakan saat ini, yang kurasakan badanku lemas, kepalaku selalu sakit. Aku menggelengkan kepalaku tanda aku tidak mau diajak ke dokter. Karena pikirku aku tidak sakit fisik tapi yang aku rasakan aku masih sakit hati, dan karena aku selalu menyembunyikan rasa sakit di hatiku, maka terlihat oleh orang lain aku sedang sakit.
Tidak bosan-bosannya Kang Burhan meminta maaf padaku, dan akupun selalu menjawabnya dengan jawaban yang sama bahwa aku sudah memaafkannya. Aku hanya mampu berdoa agar hatiku tidak merasa terbelenggu oleh kejadian-kejadian yang telah berlalu.
Pagi ini aku seperti biasa sudah sampai di sekolah tempat aku bekerja. Dengan langkah yang gontai aku langkahkan kakiku dengan semangatku yang tinggal sedikit lagi, karena beberapa bulan lagi aku akan pensiun. Umurku sudah hampir enam puluh tahun. Aku merasakan rapuhnya badanku ini. Terasa sekali lelahnya. Lelah karena aku sudah mulai menua, dan yang paling parah adalah pikiranku masih terganggu oleh kejadian-kejadian yang sangat aku tidak harapkan.
Ketika baru saja duduk di kursi tempatku bekerja, tiba-tiba datang seorang guru senior yang sebenarnya sudah hampir tiga tahun pensiun. Karena aku masih memerlukan tenaganya sebagai tenaga pengajar yang kurang karena sudah banyak yang pensiun, maka ada satu kelas yang tidak ada gurunya, maka aku pertahankan Bu Jingga untuk tetap mengajar di kelas satu. Beliau sering jadi tempat curahan hatiku, karena aku merasa tenteram ketika aku curhat padanya. Aku berani curhat padanya karena beliaupun nasibnya hampir sama dengan nasibku. Tetapi menurut beliau ada sesuatu yang belum tersampaikan masalahku padanya, maka ketika pagi ini beliau datang menghampiriku dan duduk di hadapanku,
“Apa lagi yang belum Ibu sampaikan pada saya, sehingga Ibu terlihat gontai sekali ketika Ibu sedang berjalan, karena tadi saya lihat Ibu sepertinya lelah dan ketika duduk di kursipun seperti yang lunglai?” Tanya Bu Jingga serius. “Kebetulan saya mengajar siang, tapi saya tadi melihat Ibu jalannya gontai sekali, maka saya lari ke sini, takut ada apa-apa, kalau memang masih sakit, Ibu istirahat saja di rumah, di sini biarlah ada saya, Bu…!” Jelas Bu Jingga lagi serius.
“Iyaa nih Bu Jingga, saya sepertinya semakin rapuh, ya. Apa karena saya sudah mulai tua? Jadi sepertinya banyak sekali yang saya keluhkan, ya sakit kepala, sakit-sakit badan, sakit kaki. Ah, pokoknya saya serba salah. Entah obat apa yang bisa menyembuhkannya, ya Bu?” Curhatanku pada Bu Jingga dimuali lagi.
“Bu, kan saya sudah bilang. Coba Ibu sampaikan kepada saya apa yang membuat Ibu merasa serba salah dan akhirnya jadi sakit seperti ini?” Jawab Bu Jingga.
Setelah akhirnya terdesak, aku mulai mencurahkan apa yang ada di pikiranku selama ini, aku utarakan kekesalanku pada suamiku yang perbuatannya sangat menyakitkan hatiku. Tidak ada yang tertinggal semuanya sudah aku sampaikan sehingga hatiku merasa lega. Kurasakan kepalaku tiba-tiba terasa ringan, aku sedikit berteriak saking aku merasa ringan tubuhku, kepalakupun terasa ringan tidak seberat tadi ketika sebelum aku bercerita pada Bu Jingga.
Bu Jingga pun merasa senang sekali. Terlihat ketika beliau memelukku dengn hangat, dan membisikkan sesuatu yang akan kuingat sepanjang masa, “Percayalah pada Allah, karena semua yang terjadi adalah kehendak Allah dan karena Allah ingin selalu ada di hatimu!”
Bisikan pada telingaku itu membuat aku tertegun, dan tersadar bahwa selama ini aku hannya menyalahkan suamiku saja, padahal sekarang aku yakin bahwa Allah ingin membuat aku menjadi sadar bahwa segala sesuatu tergantung Allah, karena hanya Allahlah tempat berlindung dan bergantung.
“Alhamdulillah, terimakasih Bu Jingga atas segala perhatian dan nasihatnya!” semoga Allah yang membalas-Nya dengan segala kebaikan untuk Bu Jingga.
Akhirnya tibalah saatnya aku mendapatkan Surat Keputusan (SK) pensiunku. Bu Jingga pun ikut-ikutan resign dalam mengajarnya di tahun yang sama ketika aku mendapatkan SK Pensiun.
Semangatkupun bangkit kembali walaupun usiaku sudah enam puluh tahun, tapi rasaku seperti masih muda belia, seperti dulu ketika aku mulai berumah tangga dengan Kang Burhan. Semangatku membuat Kang Burhan pun senang dan akhirnya kami pun berbahagia. *)