Akar Lampau Peribadatan 3 Umat di Bek Ang Cibinong – Bogor

Cover Akar Lampau Perubadatan Tiga Umat Beragama di BekAng Cibinong-Bogor (sumber: CV CMJ)

Penulis               :  Argya Reizend Miftahul Putri, dkk

QRCBN             :   62-839-5760-932

Editor                 :  Neneng Hendriyani

Lay out              :  Tim CMJ

Desain Sampul :  Sabrina Alya Nursadila

Cetakan Pertama, Mei 2023

Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan dengan total 17.508 pulau. Dengan luasnya wilayah Indonesia, keanekaragaman budaya yang dimiliki juga melimpah. Tanpa keanekaragaman, Indonesia tidak dapat mencapai titik saat ini. Keanekaragaman ini mencakup suku, budaya, dan agama. Berdasarkan catatan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, hingga tahun 2010 tercatat ada 1300an lebih suku bangsa di Indonesia. Sementara, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Bahan Bahasa Kemendikbud) telah memverifikasi 718 bahasa daerah di Indonesia. Sejak lama, sudah diketahui bahwa agama-agama yang dianut oleh penduduk Indonesia, jumlahnya ada 6 agama, yaitu agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Dengan keanekaragaman yang sedemikian rupa tentunya perlu dijaga dengan toleransi.

Contoh perwujudan toleransi keberagaman beragama dapat ditemukan di salah satu daerah di Cibinong, yaitu di Bek Ang Kostrad, sebuah komplek TNI AD yang secara administratif tercatat berada di Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Di komplek ini terdapat 3 rumah peribadatan, yaitu Masjid, Pura dan Gereja Kristen Protestan.

Dit Bek Ang adalah sebuah pemukiman tentara yang terletak di Jl. Raya Jakarta – Bogor KM. 44 Cibinong, Kabupaten Bogor. Bek Ang merupakan salah satu komplek yang dihuni oleh warga dengan berbagai macam agama. Dimulai dari Islam, Kristen, hingga Hindu. Oleh karena itu juga komplek ini menyediakan 3 tempat ibadah yang berdekatan dalam satu kawasan. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, warga di sini memiliki toleransi beragama yang tinggi.

Toleransi berasal dari kata toleran yang berati menahan diri, sabar, dan menghargai orang lain. Jadi toleransi itu adalah sifat atau sikap toleran. Toleransi juga merupakan sikap dasar dalam berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang lain. Dengan bertoleransi, kita bisa belajar keluar dari zona nyaman dan memahami pentingnya untuk menghormati dan menghargai orang lain. Toleransi juga dapat meningkatkan rasa persaudaraan antarsesama. Hal ini terjadi lantaran adanya rasa pengertian dan saling memahami antarmanusia baik dalam satu kelompok atau antarkelompok. Maka dari itu, kami memutuskan untuk memilih topik tentang “Akar Lampau Peribadatan 3 Umat di Bek Ang Cibinong.” Sehingga dengan memaparkan salah satu bentuk toleransi yang sudah terealisasi di wilayah Cibinong tersebut, kami berharap buku ini dapat menyirami rasa toleransi yang sudah tertanam sejak dulu di dalam masyarakat Indonesia.

Masjid Al-Ishlah

Bek Ang yang berada di wilayah komplek Angmor Dua, memiliki jumlah masyarakat yang cukup banyak dan memiliki jumlah presentasi 80% warga muslim. namun pada tahun 1969 warga Bek Ang tidak memiliki masjid.

Pendiri masjid Al-Ishlah dulu adalah seorang komandan yang memiliki toleransi sangat besar karena ia bukan seorang muslim melainkan beragama nasrani. Pada saat itu dibangun TPA kemudian dijadikan SDIT.  Masjid Al Islah sendiri memiliki arti perdamaian.

Komplek Bek Ang adalah komplek yang berisi sekumpulan warga yang berasal dari bermacam-macam suku dari Aceh sampai Irian.

Setelah pembangunan masjid selesai kemudian orang Kristen menyusul membuat gereja, dan terakhir barulah membangun Pura sebagai tempat ibadah orang Hindu.

Setelah pembangunan masjid sudah maju, oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab melaporkan kepada Yayasan Jakarta. Yayasan Jakarta merebut masjid pada tahun 2006 sehingga terjadilah koflik perebutan masjid. Dengan kekuasaan Tuhan YME dengan bantuan Allah SWT warga meminta petujuk rahmat Allah dengan mendoakan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab tersebut agar terkena stroke.  Dengan rahmat Allah SWT oknum-oknum tersebut benar-benar terkena stroke.  Oknum pertama terkena stroke selama 10 tahun. Oknum kedua mengalami stroke hingga matanya buta. Dan yang ketiga mengalami stroke selama 6 tahun. Sisanya diberikan keselamatan dan kesehatan.  

Masjid Al-Ishlah kemudian kembali dibangun seiring perjalanan zaman. Masjid direnovasi dengan menelan biaya sekitar 500 juta lebih.  Dahulu masjid Al-Ishlah masih panas, namun setelah direnovasi masjid semakin nyaman dan tidak lagi kepanasan. Proses renovasi memakan waktu cukup lama. Yaitu sekitar 6 bulan lebih.

Pada akhirnya pembangunan dan renovasi masjid Al-Ishlah berhasil dilaksanakan dengan biaya yang sangat besar. Perlu diketahui bahwa Ketua Pembangunan Masjid Al-Ishlah jujur dan amanah serta tidak melakukan korupsi. Harapan untuk masjid Al-Ishlah ke depannya adalah semoga masjid Al-Ishlah semakin maju dan berkembang, kemudian semoga jama’ah semakin banyak.

Gereja GPIB Pengharapan

Dahulu, banyak warga di sekitar Bek Ang di antaranya merupakan tentara yang tidak punya tempat ibadah. Dari tahun ke tahun, akhirnya mereka merasa membutuhkan gereja yang dekat dengan rumah dan tempat dinasnya. Dahulu Bek Ang masih menjadi pos pelayanan. Dulu kebanyakan jamaat adalah orang di lingkungan ini. Lama kelamaan jumlah jemaat mulai berkembang. Warga jemaat bukan hanya dari sekitar sini saja, tetapi sudah dari luar. Ada yang dari Kelurahan Karadenan, Sukahati, Bogor, hingga Pabuaran.  Tercatat gereja ini sudah memiliki jamaat sejumlah 650 Kartu Keluarga.

Pemimpin dari gereja ini adalah pendeta yang disebut Ketua Majelis Jemaat dengan domisili Jakarta. Kini para pendiri gereja Bek Ang sudah tiada. Di antara mereka adalah Bapak Lintong, Ibu Jado, Pak Beni, dan Bapak Sujaddi.

Di komplek ini ada beberapa tempat salah satunya ada satu rumah tempat tinggal pendeta yang disebut pastori. Selain itu terdapat ruangan pelayanan Kesehatan, PAPT pembinaan pelayanan anak dan taruna serta gereja utama.

Gereja GPIB luasnya sekitar 350 meter ruang gereja. 100.000 meter keseluruhan kurang lebih. Tidak terdapat hambatan maupun masalah dalam pembuatan gereja.

Kemudian GPIB Bek Ang mengadakan ibadah pada hari minggu 3 kali dalam satu hari yaitu jam 6 pagi, jam 9 pagi, jam 5 sore (Senin libur).

Pura Raditya Dharma

Dalam dekade sekitar tahun 1960-an sebagian umat Hindu dari Bali mengabdikan dirinya sebagai Tentara Nasional Indonesia dan PNS di lingkungan TNI-AD yang bermukim di lingkungan Komplek Dit Bek Ang AD Cibinong Bogor. Karena setiap melakukan persembahyangan selalu berpindah-pindah dari rumah umat satu ke umat yang lainnya sehingga dikhawatirkan mengganggu ketentraman masyarakat sekitar. Akhirnya umat Hindu saat itu memikirkan tentang adanya pembangunan tempat ibadah yang memadai (Pura) agar dapat melakukan kegiatan keagamaan dengan lebih mudah. Pada awalnya perjalanan pembangunan Pura mengalami kendala, karena belum adanya organisasi resmi untuk menangani pembangunan Pura tersebut. Timbullah gagasan untuk mendirikan organisasi bernama Tempek Bek Ang yang berada di bawah Banjar Bogor, dan pada tanggal 8 Agustus 1984,

berkumpullah umat Hindu Cibinong di kediaman Letnan Satu Nengah Nugra. Saat itu, terpilihlah secara aklamasi para pengurus Tempek Bek Ang dengan susunan sebagai berikut:

Ketua: Mayor CPL Ketut Berana

Wakil Ketua: Sang Made Sidan

Sekretaris: Nyoman Sepir

Bendahara: Ketut Sorem

Seksi Pendidikan dan Agama: Lettu Nengah Nugra

Setelah berdirinya organisasi sosial keagamaan Tempek Bek Ang umat Hindu mulai bertekad mendirikan sebuah Pura di wilayah komplek Bek Ang walaupun pada saat itu sangat minim dana dan sumber daya manusia. Tetapi, seorang Komandan Batalyon saat itu, Letkol Cam Muproil selaku Komandan Batalyon Angkomposit Kostrad memberi dukungan moriil secara penuh. Maka, pada tanggal 12 November 1984, diajukan surat permohoan untuk mendirikan Pura kepada KAJAN ANGRAT MIL yang berkedudukan di Jakarta dengan tembusan Komandan Batalyon Angkoposit Kostrad yang berkedudukan di Cibinong, ditandatangani oleh Bapak Nyoman Sepir atas nama Umat Hindu Cibinong.

Kemudian, turun sebuah surat Perintah Nomor: SPRIN/1171/XII/1984, tanggal 11 Desember 1984 dari KAJAN ANG RAT MIL yang berkedudukan di Jakarta memerintahkan kepada Komandan Komplek Jang Ang Ratmil dan para anggota/warga umat Hindu yang bertempat tinggal di Cibinong dan sekitarnya agar menunjuk dan menyiapkan lokasi untuk pembangunan tempat ibadah/Pura di lingkungan Komplek Jang Ang Ratmil  Cibinong yang ditandatangani oleh Kolonel Kap. SOEHARDO. Nrp. 166302.

Lokasi terpilih untuk mendirikan bangunan Pura adalah sebidang tanah negara tepat berada di sebelah bangunan Gereja GPIB Pengharapan dengan luas kurang lebih 1.300 meter persegi. Bermodal nekat dengan swadaya umat yang perekonomian serba kekurangan, bangunan Pura akhirnya bisa terbentuk dengan tembok batako dan Padmasana yang terbuat dari cetakan beton yang bentuknya sangat sederhana. Pura ini disepakati umat Hindu dan para pendiri untuk dinamai Pura Raditya Dharma Cibinong.

Setelah tahun 1984, dimulailah pembangunan beberapa bangunan lain dalam areal Pura, contohnya adalah Aula, gudang, perbaikan pagar Pura dan lain lain. Tercatat hingga saat ini, sudah dilakukan 3 kali renovasi pada Pura Raditya Dharma.

Sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan umat Hindu di luar komplek Bek Ang Cibinong yang semakin pesat, maka tempek Bek Ang Shanty Paramita membentuk Korwil (koordinator wilayah) yang berfungsi untuk menaungi umat Hindu yang bermukim di luar komplek Bek Ang. Terdapat beberapa Korwil tergantung tempat bermukim umat Hindu terbanyak, yaitu Koorwil Ciriung, Koorwil Citeureup, Koorwil Pemda. 

Pada tanggal 14 Januari 2001 terbentuklah organisasi bernama Banjar Cibinong. Saat itu juga, penggunaan nama Korwil diubah menjadi Tempek. Banjar Cibinong berfungsi menaungi kegiatan dan membawahi 4 Tempek, yaitu: Tempek Bek Ang, Tempek Ciriung, Tempek Citeureup dan Tempek Pemda. Banjar dan tempek ibarat Kelurahan dan RW. Banjar ibarat sebagai kelurahan yang wilayahnya luas, berfungsi menaungi seluruh kegiatan dari Tempek, yang ibarat sebagai RW-RW dengan wilayah yang kecil. Dengan ini, Pura Raditya Dharma Cibinong, resmi dipimpin dan diurus oleh Banjar Cibinong.

Setelah terbentuknya Banjar Cibinong seluruh pengurus sepakat agar setiap Tempek mengganti namanya masing-masing, yaitu:Tempek Bek Ang berganti nama menjadi tempek Shanty Paramita

Tempek Pemda berganti nama menjadi Tempek Kusuma Bhakti

Tempek Ciriung berganti nama menjadi Tempek Widya Guna

Tempek Citeureup berganti nama menjadi Tempek Puspa Lingga

Penglingsir atau perintis Pendirian Pura Raditya Dharma berjumlah 40 orang, yaitu:

  1. I Ketut Berana
  2. I Ketut Sutama
  3. I Nyoman Sepir
  4. I Wayan Tunas
  5. I Made Tjontok
  6. Sang Made Sidan
  7. I Nyoman Manit
  8. I Wayan Mudra
  9. I Gusti Ngurah Irvin
  10. I Nyoman Rinata
  11. I Ketut Sorem
  12. I Made Ruma
  13. I Made Widia
  14. I Nengah Nugra
  15. I Made Sumada
  16. I Wayan Murka
  17. Agung Malen
  18. I Wayan Catra
  19. I Gusti Ngurah Supardan
  20. I Nengah Kasa
  21. Gede Mangku
  22. I Wayan Lamud
  23. I Wayan Wija
  24. Ida Bagus Alit
  25. Ida Bagus Rai
  26. Ida Bagus Rai Sugata
  27. I Nengah Dana
  28. Resi Gusti Ngurah Dharma Yuda
  29. Agung Nalendra
  30. Bagus Renes
  31. I Wayan Urdiasa
  32. I Wayan Sudiarta
  33. I Nyoman Susila
  34. I Gusti Ngurah Rai
  35. I Made Rai
  36. I Wayan Astawa
  37. I Made Sujana
  38. I Wayan Kompol
  39. I Wayan Siana
  40. I Wayan Merta

Dapatkan ebooknya dengan menghubungi

Jejak Rekam Masyarakat Cibinong Kabupaten Bogor

Cover Jejak Rekam Masyarakat Cibinong (sumber: CV CMJ)

Penulis           : Adriano Rahman, dkk

QRCBN         :  62-839-2275-232

Editor             : Dina Ardianti

Lay out          : Neneng Hendriyani

Desain Sampul : Bilqis Syasya Dwi Wijaya

Cetakan Pertama, Mei 2023

Buku ini berisi tentang penjelasan mengenai kondisi geografis wilayah Cibinong dan sekitarnya. Selain itu juga kondisi sosial, ekonomi, Pendidikan dan budaya masyarakat setempat. Pada bab berikutnya buku ini berisi latar belakang pembangunan monument perjuangan rakyat Cibinong yang menjadi bukti sejarah perjuangan rakyat Cibinong dalam mempertahankan kemerdekaan dan wilayah dari pendudukan NICA pada 24 Desember 1945. Dengan dikomandoi oleh Komandan Batalyon K. H. T.B. Syamsudin Noor, Komandan Batalyon W.K. K.H. Syamsuri (H. Syarun), Staf Batalyon Pengajar Kebangsaan, dan Batalyon Staf Madi seluruh rakyat Cibinong bersatu padu berjuang mempertahankan wilayah Cibinong.

Banyak dari mereka yang gugur di medan perang. Nama-nama mereka diabadikan di monument tersebut.

Buku ini ditutup dengan penjelasan mengenai keterlibatan masyarakat dalam pelestarian monument tersebut sejak tahun 1985 hingga saat ini.

Wilayah Cibinong merupakan daerah yang menjadi titik terjadinya peristiwa sejarah di masa awal kemerdekaan Indonesia melalui peristiwa perang melawan penjajah, yaitu Netherlands Indies Civiles Administration atau biasa disebut (NICA) yang dipimpin oleh Letjen Sir Philips Christison. Perlawanan yang terjadi bertujuan untuk menghadang tentara NICA pergi ke Kota Kembang Bandung dengan cara memberikan perlawanan untuk melemahkan tentara sekutu NICA.

Masyarakat Cibinong mengerahkan seluruh kekuatannya selama konflik, termasuk Badan Keamanan Rakyat (BKR), Laskar Hizbullah, Kaum Hitam, preman, dan masyarakat Cibinong. Proses perlawanannya hanya mengandalkan senjata sederhana, seperti parang, ketapel, dan tombak bambu. Sejumlah pejuang Cibinong tewas di medan perang. Pasukan ini dipimpin oleh Dan Yon II Cibinong Mayor TB, Syamsudin Noor. Konflik yang dikenal dengan War Got Tjiluar Bivak terjadi di Cibinong antarawarga sekitar dengan pasukan NICA.

Sebagai bentuk upaya dalam mengenang peristiwa bersejarah di Indonesia, dengan semangat juang, Nasionalisme, dan Patriotisme, pada tanggal 17 Januari 1985, diresmikan sebuah monumen oleh Soedrajat Natamadja yang pada saat itu menjabat sebagai Bupati Bogor.

Pembangunan monumen ini bertujuan untuk mengenang jasa pahlawan dan menjadi salah satu wujud aset sejarah yang mencerminkan jiwa perjuangan para pahlawan cinta tanah air dalam membangun bangsa dan negeri. Kedua arti ini dapat diterapkan dalam kegiatan sehari-hari di dalam masyarakat karena masyarakat pada hakikatnya adalah bagian dari sejarah. Oleh karena itu, tujuan monumen ini adalah untuk mengingatkan masyarakat setempat bahwa kawasan Cibinong memiliki sejarah perjuangan kemerdekaan yang di dalamnya terkandung nilai-nilai nasionalisme dan cinta tanah air.

Setelah 35 tahun berdiri, perhatian terhadap monumen berbentuk tugu tersebut semakin berkurang, seperti bangunan tertutup, ilalang tumbuh tinggi di sekitarnya, dan ditemukan beberapa bagiannya retak. Namun, tugu perjuangan tersebut mendapatkan fokus baru pada tahun 2016, dan Bupati Bogor kembali mengulang peresmian dan pemugaran tugu tersebut.

Pemugaran monument itu diselesaikan tanpa mengubah bentuk bangunan. Sebaliknya, fokus menata lingkungan monumen dengan memperbesar area taman, memperbaiki jalan setapak yang mengarah ke gedung, dan menambahkan tanda monumen di pintu masuk. Plang tersebut yang bertuliskan “Monumen Perjuangan Masyarakat Cibinong” menunjukkan bahwa masyarakat Cibinong yang terdiri dari banyak lapisan yang saling berhubungan mendukung mereka yang berjuang dalam konflik bivak.

Salah satu bidang yang menjadi perhatian keluarga lain yang terlibat dalam konflik sejarah penting bagi masyarakat Cibinong adalah pemugaran monumen. Salah satu cara untuk menafsirkan, memperdalam, dan memperkuat penafsiran sejarah adalah melalui tumbuhnya pengetahuan masyarakat tentang pemugaran monumen tersebut yang kemudian dapat memperdalam pemahaman tentang sejarah dan karakter suatu negara.

Peningkatan pemahaman masyarakat terhadap sejarah memerlukan partisipasi guna menjaga kelestarian. Salah satu cara untuk menunjukkan penghormatan terhadap warisan sejarah adalah dengan tidak mencorat-coret benda peninggalan sejarah dan membantu menjaga bangunan tetap bersih dan utuh. Pelestarian ini sangat penting agar setiap individu dapat bersungguh-sungguh mengamankan dan menjaga aset bersejarah.

Mengupas Misteri Gedung Arsip dan Situ Cikaret Cibinong-Bogor

(Cover Mengupas Misteri Gedung Arsip dan Situ Cikaret Cibinong-Bogor, sumber: CMJ)

Penulis                : Adelia Fauzia Rakhim, dkk

QRCBN              : 62-839-8412-026

Penyunting          : Neneng Hendriyani

Lay out               : Hawa

Desain Sampul    : Chayara Arsalya Sandy

Cetakan Pertama, Mei 2023

Karya

Adelia Fauzia Rakhim, Adinda Putri Wahyudi, Arnold Rivaldo, Azalea Talitha Putri, Bunga Fitri Choirunisa, Chayara Arsalya Sandy, Ghina Raya Safsa, Kencana Win Theodora, Kiandra Daffa Janesa, Muhammad Rafi’ul Anwar Baehaki, Na’ilah Rahadatul Aisy Saktia, Nayla Nurhaliza Bilqis, Rayhan Adistira.

Sinopsis

Buku ini merupakan hasil kegiatan pembelajaran Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) untuk Tema 3 Kearifan Lokal. Ditulis oleh tim penulis dari kelas X-1 dengan mengangkat tema mengenai misteri di seputar Gedung Arsip dan Situ Cikaret yang sempat viral di media sosial karena banyaknya penampakan dan kisah horor. Keingintahuan penulis mengenai asal mula kedua tempat, termasuk tujuan, fungsi, dan manfaat keduanya dituangkan di dalam buku ini.

Pengumpulan data mengenai kedua tempat tersebut, yaitu Gedung Arsip dan Situ Cikaret dilakukan dengan cara melakukan observasi langsung ke lokasi, wawancara tokoh, studi pustaka, dan literasi digital.

Para penulis melakukan braisntorming pencarian ide mengenai tema penulisan pada minggu pertama Januari 2023 dengan bimbingan fasilitator yaitu Ibu Citra Ayu Ningrum, S.Pd. Setelah merencanakan semua tahap kegiatan dan membuat jadwal pelaksanaan barulah mereka melakukan pengumpulan data. Setelah semua data dirasa cukup penulis menuangkannya ke dalam naskah berupa draft buku. Fasilitator memeriksa draft dan mengembalikannya kepada tim naskah untuk direvisi hingga tanggal 30 Maret 2023. Setelah itu barulah draft dikumpulkan.

Akhirnya, buku yang merupakan hasil kegiatan mandiri, kolaboratif ini berhasil diterbitkan. Semoga buku ini bermanfaat bagi seluruh pembaca di mana pun berada. *)